BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Walaupun banyak berbagai cara yang di lakukan oleh Belanda dengan tujuan untuk membendung pergolakan rakyat Indonesia ekonomi, politik social dan terutama melalui media pendidikan islam namun mereka tidak membawa hasil yang memuaskan, malahan berakibat sebaliknya makin menumbuhkan kesadaran tokoh-tokoh organisasi islam bagaimana untuk melawan penjajah Belanda itu sendiri, dengan cara menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan rasa nasionalisme di kalangan rakyat dengan melalui pendidikan. Dengan sendirinya kesadaran berorganisasi yang dijiwai oleh perasaan nasionalisme yang tinggi, menimbulkan perkembangan dan era baru di lapangan pendidikan dan pengajaran. Dan dengan demikian lahirlah Perguruan-perguruan Nasional, yang di topang oleh usaha-usaha swasta (partikelir).
Dalam pembahaasan ini akan membahas sebuah organisasi social yang diddirikan di Jakarta tahun 17 Juli 1905. Organisasi ini terbuka untuk semua muslim tidak memandang asal-usul, tapi mayoritas anggotanya adalah orang Arab. Yang berperan besar dalam organisasi ini adalah para ulama asal Arab Hadramaut dan juga pemuda Alawiyyin, seperti Habib Abubakar bi Ali bin Abubakar bin Umar Shahab, Sayid Muhammad Al-Fakir Ibn. Abn. Al Rahman Al Mansyur, Idrus bin Ahmad Shahab, Ali bin Ahmad Shahab, Abubakar bin Abdullah Alatas, Muhammad bin Abdurrahman Shahab, Abubakar bin Muhammad Alhabsyi dan Syechan bin Ahmad Shahab. Di tangan ulama-ulama inilah Jamiatul Khair tumbuh pesat.
Organisasi social ini bergerak dalam dua bidang, yang pertama, pendirian dan pembinaan satu sekolah pada tingkat dasar , yang kedua mengirimkaan anak-anak ke turki untuk melanjutkan pendidikan. Sedangkan bidang kedua ini mempunyai sedikit hambatan yaitu karena kekurangan biaya dan kemunduran khilafat.
Dalam pembahasan makalah ini saya akan membahas tentang dua organisasi yang masuk ke Indonesia, yakni Al irsyad dan Jami’atul khoir beserta para tokoh – tokhnya dan juga ajaran –ajarannya.
BAB II
AL IRSYAD DAN JAMI’ATUL KHOIR
A. Al irsyad
Muhammadiyah Al-Irsyad dan Persatuan Islam merupakan tiga serangkai organisasi Islam pembaharu yg paling berpengaruh di Indonesia. Pada awal abad XX telah lahir sejumlah tokoh elit Muslim. Mereka memiliki semangat pembaharuan dalam pemikiran keagamaan. Semangat reformasi itu datang bersamaan dgn maraknya perkembangan ide-ide reformasi yg berkembang di Timur Tengah. Pada pertengahan abad XVIII di Jazirah Arab muncullah gerakan yg dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Wahhab . Gerakan ini merupakan tanggapan nyata dari pemikiran Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya yg terkenal Ibn Qayyim Al-Jauziyah dua orang tokoh reformis Islam yg memberi ciri awal munculnya renesans dunia Islam utk kembali kepada kemurnian Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Pada awal pekembangannya Islam di Indonesia terutama pula Jawa yg juga pusat Kerajaan Hindu-Jawa mengalami tantangan yg sungguh berat. Di mana pada umumnya keadaan masyarakat sudah memiliki keyakinan yg mendarah daging dgn kebudayaan Hindu yg kental. Akan tetapi perkembangan agama Islam di Indonesia terutama di Jawa menjadi pesat diantaranya krn peran yg cerdik dan kemampuan berdakwah yg handal dari tokoh-tokohnya pada jaman yg terkenal dgn sebutan “Wali Sanga/Wali sembilan.” Tokoh Islam yg terkemuka pada jamannya itu berdakwah menyebarkan agama dgn contoh ketauladanan dan kemampuan spiritualnya yg tinggi serta mengikuti atau menyiasati keadaan tradisi dan kebudayaan setempat dgn mendahulukan pemahaman tata cara beribadah dan mengesampingkan pemahaman aqidah. Sehingga tidak terjadi pergolakan atau kegaduhan dgn tradisi masyarakat setempat. Hal ini mungkin menurut pertimbangan tokoh-tokoh Islam yg arif pada jamannya itu sebagai metode dakwah yg tepat dgn berpegang teguh kepada “bil hikmah wal mau’izhah hasanah.”Dan pada masanya nanti diharapkan akan datang para pendakwah dan mubaligh yg gigih mengajarkan pemahaman aqidah yg murni.
Keadaan perkembangan agama Islam dgn wawasan aqidah yg kurang tersebut pada umumnya di kalangan masyarakat terus berjalan sampai kemudian muncul tokoh-tokoh muda reformis dgn menekankan kepada pemahaman aqidah yg murni bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dari sinilah kemudian perkembangan pemikiran Islam mulai tumbuh dan tidak dipungkiri merupakan hal yg mesti terjadi adl perang urat saraf pergolakan pemikiran antara pro pembaharu dgn pemikiran moderat gaya Wali Sembilan. Kelompok tersebut bermuara sampai sekarang pada kelompok-kelompok terbesar di Indonesia yaitu dari kalangan NU yg moderat dan kelompok elitis kalangan cendekiawan yaitu Muhammadiyah Al-Irsyad dan Persis yg pro pembaharu yg merupakan tiga serangkai yg tidak terpisahakan hingga saat ini.
Walaupun sekarang terlihat pola-pola pemikiran NU cenderung terjadi perubahan dimana yg dahulunya hanya menganut satu mazhab yaitu Imam Syafii dgn ciri khas tradisi ke-Nu-annya sekarang sudah banyak pemikirannya yg lintas mazhab tetapi dikalangan bawah perbedaan di dua kelompok besar itu sangat kental. Sehingga kita dapat melihat warga NU jum’atan di masjid NU warga Muhammadiyah Jum’atan di masjid Muhammadiyah hanya krn persoalan masalah adzan dalam shalat Jum’at dimana utk warga Nahdliyin dengan menggunakan dua adzan sementara kalangan Muhamadiyah hanya satu adzan. Ini adalah salah satu perbedaan furu’iyah yg memang mesti terjadi dan tidak mungkin menyatukan fisi hal-hal semacam ini. Sehingga mujtahid terkenal di abad ini Syaikh Yusuf Qardawi menyatakan bahwa merupakan hal yg bodoh dan mustahil menyatukan semua pendapat di dalam Islam dalam masalah furu’ krn tabiat agama Islam memang menghendaki adanya bergamai macam penafsiran atau perbedaan selain berbagai macam factor lainnya.
B. Sejarah berdiri dan tokoh - tokohnya
Al-Irsyad berdiri setelah berdirinya Jamiat Khair yaitu organisasi yg didirikan warga keturunan Arab di Jakarta yg hanya khusus bergerak dalam bidang pendidikan. Salah satu tokoh penting dan sangat berpengaruh adl Ahmad Soorkatty dari keturunan Sudan waktu itu termasuk wilayah Mesir.
Ahmad Surkati dilahirkan di pulau Arqu daerah Dunggulah Sudan. Ia sudah menghafal Al-Qur’an di usia mudanya berkat ketekunan dan kasih sayang ayahnya menggembleng anaknya yg juga merupakan ulama besar yg terkenal. Setelah ayahnya meninggal dunia ia melanjutkan belajarnya ke Al-Azhar Mesir. Sampai kemudian melanjutkan belajar di Makkah dan dgn thesisnya tentang Al-Qadha wal Qadar ia meraih gelar Al ‘Allamah dgn asuhan guru besar Syaikh Muhammad bin Yusuf Alkhayaath dan Syaikh Syu’aib bin Musa Almaghribi.
Pengembaraannya ke Indonesia bermula dari permintaan Jami’at Khair di Indonesia utk mengajar. Melalui perantaraan Syaikh Muhammad bin Yusuf Al-Khayyath dan Syaikh Husain bin Muhammad Al-habsyi sampailah maksud Surkati utk memenuhi permintaan Jami’at Khair dgn membawa bekal keyakinan “mati di Jawa dgn berjihad lbh suci daripada mati di Makkah tanpa jihad.” Akan tetapi setelah beberapa lama terjadi ketidakharmonisan hubungan antara pihak Jami’at Khair dgn Surkati akhirnya Surkati keluar dan kemudian setelah berdiri dan berkembangnya pendidikan madrasah Al-Irsyad ia menjadi pengajar di madrasah Al-Irsyad. Keberadaan Surkati di Al-Irsyad meroketkan organisasi tersebut jauh meninggalkan Jami’at Khair. Di samping memang Jami’at Khair terdapat banyak kelemahan di dalam sosiokulturalnya di antaranya masih memandang tentang perbedaan status sosial.
Kedatangan Surkati di pulau Jawa bulan Maret 1911 ternyata kemudian menjadi peristiwa penting dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia yaitu sejarah pekembangan faham pembaharuan Islam di Indonesia terutama krn kegiatannya yg suka bergelut dalam bidang pendidikan ketimbang keorganisasian Al-Irsyad itu sendiri.
Pada saat Ahmad Surkati mengujungi sahabatnya Awad Sungkar Al-Urmei di Solo tahun 1912 dalam perjalanannnya bertemu dgn tokoh pribumi yg sedang asyik membaca majalah Almanar dan mengaguminya krn kemampuannya membaca bahasa Arab. Di samping itu memang krn jalan pikirannya yg sama tentang pemahaman pemurnian aqidah sehingga keduanya menjadi akrab. Dalam pertemuan dan perkenalannya inilah terjadi tukar pikiran antara keduanya sampai pada kesimpulan yg mengandung tekad mereka berdua utk sama-sama mengembangkan pemikiran Muhammad Abduh di Indonesia.
Pada waktunya di kemudian berkembang pesatlah organisasi pembaharu yg menjadi terkenal dan besar di Indonesia hingga saat ini yaitu Al-Irsyad Al-Islamiyah dan kemudian menyusul pada tahun 1912 berdiri Muhamadiyah oleh Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Dan pada tahun 1923 berdiri pula organisasi yg sepaham yaitu Persatuan Islam di Bandung.
Di dalam akte pendirian dan Anggaran Dasar Al-Irsyad yg disahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda tercatat pengurus pertamanya adalah
Ø Salim bin Awad Balweel sebagai ketua.
Ø Muhammad Ubaid Abud sebagai sekretaris.
Ø Said bin Salim Masy’abi sebagai bendahara.
Ø Saleh bin Obeid bin Abdat sebagai penasehat.
Setelah keluarnya beslit dari Gubernur Jenderal itu pada hari Selasa tanggal 19 Syawwal /31 Agustus 1915 telah diadakan Rapat Umum Anggota. Dalam rapat itu diputuskan susunan pengurus utk kepentingan intern
Ø Salim bin Awad Balweel sebagai ketua.
Ø Saleh bin Obeid bin Abdat sebagai wakil ketua.
Ø Muhammad Ubaid Abud sebagai sekretaris.
Ø Said bin Salim Masy’abi sebagai bendahara.
Pengurus ini dilengkapi dgn 19 orang sebagai komisaris yg berkewajiban mengawasi jalannya perhimpunan dgn berbagai permasalahan yg dihadapinya yaitu
Ø Ja’far bin Umar Balfas Abdullah bin Salmin bin Mahri
Ø Abdullah bin Ali Balfas Abdullah
C. Jami’atul Khoir
Jam;iat Khair adalah sebuah organisasi social yang ditekankan bergerak di bidang pendidikan. Jam;iat Khair pada awalnya bergerak di sekolah dasar. Sekolah dasar Jam;iat Khair bukan semata-mata mempelajari pengetahuan agama tetapi juga mempelajari pengetahuan umum lainnya seperti lazimnya suatu sekolah dasar biasa, misalnya berhitung , sejarah kebudayaan islam, ilmu bumi, bahasa inggris dan sebagainya. Kurikulum sekolah dan jenjang kelas-kelas telah disusun dan terorganisir dan bahasa pengantar yang dipergunakan untuk mengajar dan setiap harinya yaitu bahasa Indonesia dan bahasa melayu.
Untuk memenuhi tenaga guru yang berkualitas Jam’iat Khair mendatangkan guru-guru dari daerah sendiri ataupun daerah luar negri, salah satunya yaitu Haji Muhammad Mansyur (1907) seorang guru dari padang di minta untuk mengajar di sekolah Jam’iat Khair karena beliau berpengetahuan yang luas baik dalam bidang agama maupun bahasa terutama bahasa melayu. Dan al- Hasyimi di datingkan dari Tunisia sekitar tahun 1911 yang di samping mengajar juga memperkenalkan gerakan kepanduan dan olah raga di lingkungan sekolah Jam’iat Khair.
Pada bulan Desember 1923 (Jumadil Awal1342) didirikan gedung Jam’iat Khair di Tanah Abang yang mempunyai 8 lokal. Kemudian ditambah 2 lokal, sehingga menjadi 10 lokal.
Jam’iat Khair terdiri beberapa tingkat yaitu:
· Tingkat Tahdiriah Lamanya 1tahun
· Tingkat Ibtidaiyah Lamanya 6 tahun
· Tingkat Tsanawiyah Lamanya 3 tahun
Mereka yang yang telah di anggap lulus dari Tsanawiyah dapat menyambung pelajarannya ke Mesir atu ke Mekah. Dan untuk zaman sekarang tinggal di tambah dengan bagian P.G.A. Pertama lamanya 4 tahun (Menurut rencana japenda), yang di terima masuk Tsanawiyah ialah murid-murid tamatan Ibtidaiyah dan yang diterima P.G.A. ialah murid-murid tamatan S.R.
Jamiatul Khair banyak mendatangkan surat kabar dan majalah dari Timur Tengah. Organisasi ini juga melakukan korespondensi (surat-menyurat) dengan tokoh-tokoh pergerakan dan surat kabar luar negeri. Dengan demikian kabar-kabar mengenai kekejaman penjajah Belanda di Indonesia dapat sampai ke dunia luar, antara lain karena melalui Jamiatul Khair. Snouck Hurgronje, seorang orientalis yang berperan besar dalam penaklukan Aceh, dengan terang-terangan bahkan menuding Jamiatul Khair membahayakan pemerintah Belanda. Melalui siswa-siswanya, Jamiatul Khair ikut berkontribusi dalam perjuangan membebaskan tanah air dari cengkeraman para penjajah serta melakukan syiar islam ke seluruh nusantara.
Salah seorang guru yang terkenal adalah Syaikh Ahmad Surokati dari sudan. Dia tampil sebagai tokoh pemikiran-pemikiran baru dalam masyarakat Islam Indonesia. Salah satu pemikirannya adalah bahwa tidak adanya perbedaan di antara sesame muslim. Kedudukan muslim adalah sama, baik keturunan, harta, ataupun pangkat beliau tidak menjadi penyebab adanya diskriminasi dalam islam. Pemikiran ini muncul setelah terjadi pertikaian di kalangan masyarakat Arab yang berkaitan dengan hak istimewa bagi kalangan sayyid( gelar yang di sandang bagi mereka yang memounyai garis keturunan dengan Nabi Muhammad SAW). Di antara yang diperdebatkan adalah larangan kawin bagi wanita sayyid dengan orang yang bukan keturunan sayyid. Bila bertemu dengan oaring sayyid, maka orang yang tidak dari keturunan sayyid, baik Arab atau orang Indonesia, harus mencium tangannya. Apabila tidak melakukannya, bisa menimbulkan pertikaian sehingga terjadi perpecahan di kalangan al-Jam’iat Khair.
Organisasi Pembaharuan Islam ini berkantor di daerah Pekojan di Tanjung Priok (Jakarta). Oleh karena perkembangannya dari waktu ke waktu semakin pesat, maka pusat organisasi ini dipindahkan dari Pekojan ke Jl. Karet, Tanah Abang. Organisasi ini dikenal banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam, terdiri dari tokoh-tokoh gerakan pembaharuan agama Islam antara lain, Kyai Haji Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam), H. Samanhudi (tokoh Sarekat Dagang Islam), dan H. Agus Salim. Bahkan beberapa tokoh perintis kemerdekaan juga merupakan anggota atau setidaknya mempunyai hubungan dekat dengan Jamiatul Khair.
Awalnya memusatkan usahanya pada pendidikan, namun kemudian memperluasnya dengan dakwah dan penerbitan surat kabar harian Utusan Hindia di bawah pimpinan Haji Umar Said Cokroaminoto (Maret 1913). Kegiatan organisasi juga meluas dengan mendirikan Panti Asuhan Piatu Daarul Aitam. Di Tanah Abang, Habib Abubakar bersama sejumlah Alawiyyin juga mendirikan sekolah untuk putra (aulad) di Jl. Karet dan putri (banat) di Jl. Kebon Melati serta cabang Jamiatul Khair di Tanah Tinggi Senen.
Pemimpin-pemimpin Jamiatul Khair mempunyai hubungan yang luas dengan luar negeri, terutama negeri-negeri Islam seperti Mesir dan Turki. Mereka mendatangkan majalah-majalah dan surat-surat kabar yang dapat membangkitkan nasionalisme Indonesia, seperti Al-Mu'ayat, Al-Liwa, Al-ittihad, dan lainnya. Tahun 1903 Jamiatul Khair mengajukan permohonan untuk diakui sebagai sebuah organisasi atau perkumpulan dan tahun 1905 permohonan itu dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan catatan tidak boleh membuka cabang-cabangnya di luar di Batavia.
D. Kampung Pakojan
Sebelum ditetapkan sebagai kampung arab, daerah Pekojan dahulu dihuni oleh muslim Koja (Muslim India). Sampai kini masih terdapat Gang Koja, yang telah berganti nama menjadi Jalan Pengukiran II. Di sini terdapat sebuah Masjid kuno Al Anshor yang dibangun pada 1648 oleh para muslim India. Tak jauh dari tempat ini, kira-kira satu kilometer perjalanan, terdapat Masjid Kampung Baru yang dibangun pada pertengahan abad ke-18.
Di Pekojan masih banyak terdapat bangunan-bangunan peninggalan tempo dulu. Misalnya Masjid Langgar Tinggi, yang dibangun pada abad ke-18. Masjid ini telah diperluas oleh Syaikh Said Naum, seorang Kapiten arab. Ia memiliki beberapa kapal dagang dan tanah yang luas di Tanah Abang, yang sebagian telah diwakafkannya untuk tempat pemakaman. Di dekat Langgar Tinggi terdapat sebuah jembatan kecil yang dinamai Jembatan Kambing. Dinamakan demikian, karena sebelum dibawa untuk disembelih di pejagalan (sekarang bernama Jalan Pejagalan), kambing harus melewati jembatan yang melintasi Kali Angke ini terlebih dahulu. Para pedagang di sini telah berdagang secara turun-temurun selama hampir 200 tahun.
Terdapat juga Masjid An Nawier, yang merupakan tempat ibadah yang terbesar di Pekojan. Masjid ini pada tahun 1920 diperluas oleh Habib Abdullah bin Husein Alaydrus, seorang kaya raya yang namanya diabadikan menjadi Jalan Alaydrus, di sebelah kanan Jalan Gajahmada. Pendiri Masjid ini adalah Habib Utsman bin Abdullah bin Yahya.
Di dekat Masjid An Nawier, terdapat Az Zawiyah, sebuah bangunan untuk ibadah dan pendidikan islam yang didirikan oleh Habib Ahmad bin Hamzah Alatas, seorang ulama asal Hadhramaut. Beliau juga merupakan guru dari Habib Abdullah bin Muhsin Alatas, seorang ulama besar yang kemudian berdakwah di daerah Bogor.
Banyak tokoh-tokoh besar yang berasal dan memiliki kaitan sejarah dengan kampung Pekojan. Di antaranya adalah Habib Utsman bin Abdullah bin Yahya yang pernah menjabat sebagai mufti di Betawi. Juga Habib Ali bin Abdul Rahman Al Habsyi, pendiri majlis taklim Kwitang yang sempat belajar pada Habib Utsman di Pekojan. Ada juga seorang ulama besar asli kelahiran Pekojan yang merupakan guru dari syaikh Nawawi Al Bantani. Beliau adalah syaikh Junaid Al Batawi yang sampai akhir hayatnya menjadi guru dan imam di Masjidil Haram. Syaikh Junaid Al Batawi juga diakui sebagai Syaikhul Masyayikh (Mahaguru) dari ulama-ulama madzhab Syafi'i mancanegara pada abad ke-18. beliau pulalah yang pertama kali memperkenalkan nama Betawi di luar Indonesia
BAB III
KESIMPULAN
Muhammadiyah Al-Irsyad dan Persatuan Islam merupakan tiga serangkai organisasi Islam pembaharu yg paling berpengaruh di Indonesia. Pada awal abad XX telah lahir sejumlah tokoh elit Muslim. Mereka memiliki semangat pembaharuan dalam pemikiran keagamaan. Semangat reformasi itu datang bersamaan dgn maraknya perkembangan ide-ide reformasi yg berkembang di Timur Tengah. Pada pertengahan abad XVIII di Jazirah Arab muncullah gerakan yg dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Wahhab . Gerakan ini merupakan tanggapan nyata dari pemikiran Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya yg terkenal Ibn Qayyim Al-Jauziyah dua orang tokoh reformis Islam yg memberi ciri awal munculnya renesans dunia Islam utk kembali kepada kemurnian Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-Irsyad berdiri setelah berdirinya Jamiat Khair yaitu organisasi yg didirikan warga keturunan Arab di Jakarta yg hanya khusus bergerak dalam bidang pendidikan. Salah satu tokoh penting dan sangat berpengaruh adl Ahmad Soorkatty dari keturunan Sudan waktu itu termasuk wilayah Mesir. Ahmad Surkati dilahirkan di pulau Arqu daerah Dunggulah Sudan. Ia sudah menghafal Al-Qur’an di usia mudanya berkat ketekunan dan kasih sayang ayahnya menggembleng anaknya yg juga merupakan ulama besar yg terkenal. Setelah ayahnya meninggal dunia ia melanjutkan belajarnya ke Al-Azhar Mesir. Sampai kemudian melanjutkan belajar di Makkah dan dgn thesisnya tentang Al-Qadha wal Qadar ia meraih gelar Al ‘Allamah dgn asuhan guru besar Syaikh Muhammad bin Yusuf Alkhayaath dan Syaikh Syu’aib bin Musa Almaghribi.
Jam;iat Khair adalah sebuah organisasi social yang ditekankan bergerak di bidang pendidikan. Jam;iat Khair pada awalnya bergerak di sekolah dasar. Sekolah dasar Jam;iat Khair bukan semata-mata mempelajari pengetahuan agama tetapi juga mempelajari pengetahuan umum lainnya seperti lazimnya suatu sekolah dasar biasa, misalnya berhitung , sejarah kebudayaan islam, ilmu bumi, bahasa inggris dan sebagainya. Kurikulum sekolah dan jenjang kelas-kelas telah disusun dan terorganisir dan bahasa pengantar yang dipergunakan untuk mengajar dan setiap harinya yaitu bahasa Indonesia dan bahasa melayu.
Sebelum ditetapkan sebagai kampung arab, daerah Pekojan dahulu dihuni oleh muslim Koja (Muslim India). Sampai kini masih terdapat Gang Koja, yang telah berganti nama menjadi Jalan Pengukiran II. Di sini terdapat sebuah Masjid kuno Al Anshor yang dibangun pada 1648 oleh para muslim India. Tak jauh dari tempat ini, kira-kira satu kilometer perjalanan, terdapat Masjid Kampung Baru yang dibangun pada pertengahan abad ke-18.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bahy, Muhammad.1986. Pemikiran Islam Modern. Jakarta : Pustaka Panjimas.
Asmuni, Yusran. 1998. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Hamka. 2005. Sejarah Umat Islam. Singapura : Pustaka Nasional Pte Ltd.
Nasution, Harun. 1996. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta : PT. Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 2003. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta : PT. Bulan Bintan
0 Komentar untuk "Makalah AL-Irsyad dan Jamiatul Khoir"